ILMU SOSIAL DASAR
TUGAS-6
ARTIKEL
KASUS PELANGGARAN HAM
Disusun
Oleh :
Nama : Febi Ardianto
NPM : 32412847
Kelas : 2-ID08
Mata
Kuliah : Ilmu Sosial Dasar
FAKULTAS
TEKNOLOGI INDUSTRI
JURUSAN
TEKNIK INDUSTRI
UNIVERSITAS
GUNADARMA
KALIMALANG
Toleransi
Palsu, Kebebasan Beragama Semu
Entah untuk mengubur rasa bersalah atau karena “kurang gaul”,
sebagian pejabat kita suka sekali membangga-banggakan diri dalam perkara
toleransi dan kebebasan beragama. Berkebalikan dengan laporan-laporan tahunan
yang dikeluarkan Center for Religious and
Cross-Cultural Studies (CRCS)
UGM,
Setara Institute, Wahid
Institute dan berbagai lembaga kredibel internasional mengenai kehidupan
beragama di
Indonesia yang bertabur noda,
baru-baru ini, misalnya, Menteri Agama Suryadharma Ali menyatakan bahwa hubungan
antar-agama di negara kita adalah yang terbaik di dunia. Dengan menengok
sejarah sebentar saja, seharusnya kita paham. Sejak 1967, toleransi dan
kebebasan beragama di Indonesia lebih banyak ditafsir dan dipraktekkan menurut
perspektif mayoritas.
Interpelasi Simorangkir bisa disebut sebagai peristiwa
terbuka pertama menyangkut isu toleransi dan kebebasan beragama setelah
kemerdekaan. Persis di awal Orde Baru, interpelasi Simorangkir diajukan
kalangan Kristen dalam suatu sidang parlemen DPR GR 1967 guna menggugat
pelarangan pendirian gereja Metodis di Meulaboh, Aceh. Menurut mereka, tindakan
pelarangan itu menghancurkan semangat toleransi beragama, tidak sesuai dengan
Pancasila, melanggar HAM dan mengancam persatuan nasional.
Sebaliknya, kalangan Muslim yang dimotori oleh tokoh seperti
HM. Rasjidi dan M. Natsir menuduh bahwa dengan mendirikan gereja dan melakukan
kegiatan misi di lingkungan Muslim seperti Aceh—yang pada jaman Belanda pun
dilarang di bawah peraturan “double mission”—golongan Kristenlah yang
tidak punya toleransi dan tak menghargai kebebasan beragama, membahayakan
Pancasila serta mengancam kerukunan dan kesatuan bangsa.
Beberapa bulan kemudian, meletus pula “Peristiwa Makassar”
yang dipicu oleh kombinasi antara tindakan pelecehan oleh seorang guru beragama
Kristen terhadap Nabi Muhammad dan rencana penyelenggaraan Sidang Raya Dewan
Gereja-Gereja Indonesia (DGI) VI di kota itu. Belasan gereja, sekolah, asrama
dan bangunan Kristen dirusak massa Muslim. Bagi kalangan Kristen, ini merupakan
bukti lain betapa umat Islam tidak memiliki toleransi dan tak peduli kebebasan
beragama, sebagaimana yang telah mereka khawatirkan sejak perdebatan perumusan
Konstitusi 1945. Sebaliknya, bagi warga Muslim, tindakan pelecehan dan
penyelenggaraan SR DGI di kota berpenduduk mayoritas Muslim itu dipandang
sebagai ekspansi terang-terangan dan pelanggaran terhadap prinsip toleransi
serta kebebasan beragama.
Musyawarah Antarumat Beragama yang diselenggarakan Pemerintah
pada akhir 1967 memang bisa menghentikan perdebatan terbuka yang potensial
mengguncang tahun-tahun awal Orde Baru, tapi ia gagal menyelesaikan masalah.
Berbagai peristiwa pada1967 dan periode formatif Orde Baru serta solusinya
telah membentuk watak hubungan antaragama di Indonesia, sampai sekarang. Di bawah
otoritarianisme Suharto, ketegangan dan saling curiga antarumat beragama terus
mengendap, kadang pecah seperti dalam kasus pembunuhan seorang pendeta Kristen
Australia pada 1974 yang berbuntut pembatalan rencana SR Dewan Gereja-Gereja
Dunia 1975 di Jakarta, perdebatan RUU Perkawinan 1973, UU Peradilan Agama, UU
Sisdiknas 1989 dan lain-lain.
Dengan menggunakan dalil kerukunan, Pancasila, kesatuan
nasional dan HAM, khususnya Islam dan Kristen sebagai dua kelompok terbesar
terus berebut tafsir dan berupaya untuk mempergunakan kekuatan negara dalam
mendesakkan kepentingan masing-masing sembari saling tuding mengenai siapa yang
membela dan siapa yang melanggar prinsip toleransi dan kebebasan beragama.
Dari Isaiah Berlin (2002) kita belajar tentang dua wajah
kebebasan, kebebasan positif atau “kebebasan untuk” (freedom for) dan
kebebasan negatif atau “kebebasan dari” (freedom from). Keduanya bukan
cuma bisa merupakan dua ragam yang berbeda, tapi juga rival dan dua tafsir yang
tak saling bersesuaian tentang kebebasan. Apa yang terjadi dalam hubungan
antaragama di Indonesia adalah contohnya.
Akibat sejarah yang kompleks, khususnya dalam hubungannya
dengan kelompok Kristen, sebagian Muslim di Indonesia cenderung memahami
kebebasan beragama sebagai “kebebasan dari” pengaruh dan “gangguan” agama lain.
Peraturan izin pendirian rumah ibadah dan pelarangan penyebaran agama terhadap
orang yang “sudah beragama” yang dibuat Orde Baru setelah peristiwa 1967 atas
desakan kalangan Muslim adalah contoh yang populer. Bagi umat Islam, toleransi
dan kebebasan beragama terutama adalah “jangan ganggu iman kami”.
Sementara kalangan Kristen cenderung menekankan aspek
“kebebasan untuk”, termasuk kebebasan untuk menyebarkan agamanya kepada siapa
saja, baik yang “sudah beragama” maupun “belum”. Dalam perdebatan pada 1950-an,
selain Deklarasi Hak-Hak Asasi Manusia, Konstitusi RIS 1949 yang secara
eksplisit mencantumkan hak bebas berganti agama kerap mereka rujuk.
Sedangkan kelompok Muslim dan Hindu sama-sama sepakat agar
umat yang “sudah beragama” tidak boleh dijadikan sasaran penyebaran agama. Ini
memang merupakan isu genting, terutama sejak 1965, ketika Orde Baru mendorong
arus konversi kedalam agama-agama resmi sebagai suatu cara untuk menghabisi
golongan komunis.
Agama-agama
yang diakui pun saling berebut penumpang. Akibatnya, kelompok mayoritas takut
kehilangan, kelompok minoritas takut tidak mendapat bagian.
Bagaimana dengan para penganut agama lokal? Dalam paradigma
kewajiban menganut salah satu agama resmi ala Orde Baru, bukan cuma mereka
dilihat sebagai pasar empuk penyebaran agama, nasib agama dan kepercayaan lokal
tak perlu dipikirkan.
Sebagaimana kebebasan secara umum, sebenarnya kebebasan
beragama selalu hadir dalam dua wajah, yang “positif” dan “negatif”, dan tidak
ada yang berdiri sendiri secara mutlak. Karenanya, negara semestinya tidak
perlu repot harus berpihak ke mana, kecuali kepada prinsip keadilan dan
kesederajatan setiap kelompok dan warga. Agama adalah urusan pribadi yang wajib
dijamin oleh negara. Tetapi, pelaksanaan kebebasan beragama, baik yang positif
maupun negatif, harus ditindak jika terbukti melanggar aturan hukum. FPI, karena
itu, tidak boleh dibiarkan sewenang-wenang menghalang-halangi usaha pembangunan
rumah ibadah umat
non-Muslim atau menghabisi kelompok-kelompok Islam
yang mereka anggap sesat.
Pada masa lalu, Orde Baru dan banyak produk hukumnya, seperti
peraturan pendirian tempat ibadah, pengawasan terhadap aliran kepercayaan warga
negara, dan pewajiban pelajaran agama di sekolah umum telah membuat masalah
toleransi dankebebasan beragama justru kian runyam. Sebab, Orde Baru memang
tidak menjamin penegakan prinsip toleransi dan kebebasan beragama itu sendiri,
melainkan memihak kepada tafsir keduanya menurut kelompok yang menguntungkan
kepentingan politiknya. Sampai sekarang, warisan kebijakan dan paradigma itu
rupanya masih terus dipertahankan.
Penganiayaan dan kesewenang-wenangan terhadap
kelompok-kelompok minoritas seperti tercermin dalam kasus Syi’ah di Sampang,
Ahmadiyah, dan GKI Yasmin, jelas menunjukkan bahwa posisi kita masih belum jauh
bergeser dari situasi tahun 1967, lama setelah Orde Baru runtuh.
Mungkinkah yang kita bangga-banggakan selama ini cuma
toleransi palsu dan kebebasan beragama semu?
Sumber : Koran Tempo edisi 16 September 2013.
Kaitannya dengan UUD
1945 :
Dasar
hukum yang menjamin kebebasan beragama di Indonesia ada pada konstitusi kita,
yaitu Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (“UUD 1945”):
“Setiap orang bebas memeluk agama
dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih
pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara
dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”
Pasal
28E ayat (2) UUD 1945
juga menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan.
Selain itu dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 juga diakui bahwa hak untuk
beragama merupakan hak asasi manusia. Selanjutnya Pasal 29 ayat (2) UUD 1945
juga menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk
memeluk agama.
Akan
tetapi, hak asasi tersebut bukannya tanpa pembatasan. Dalam Pasal 28J ayat
(1) UUD 1945 diatur bahwa setiap orang wajib menghormati hak asasi orang
lain. Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 selanjutnya mengatur bahwa
pelaksanaan hak tersebut wajib tunduk pada pembatasan-pembatasan dalam undang-undang.
Jadi, hak asasi manusia tersebut dalam pelaksanaannya tetap patuh pada
pembatasan-pembatasan yang diatur dalam undang-undang.
LAPISAN MASYARAKAT
(STRATIFIKASI SOSIAL)
Setiap masyarakat senantiasa
mempunyai penghargaan tertentu terhadap hal-hal tertentu dalam masyarakat yang
bersangkutan. Penghargaan yang lebih tinggi terhadap hal-hal tertentu, akan
menempatkan hal tersebut pada kedudukan yang lebih tinggi dari hal-hal lainnya.
Kalau suatu masyarakat lebih menghargai kekayaan material daripada kehormatan,
misalnya, maka mereka yang lebih mempunyai kekayaan meteril akan menempati
kedudukan yang lebih tinggi dari pihak-pihak lain. Gejala tersebut menimbulkan
lapisan masyarakat, yang merupakan pembedaan posisi seseorang atau suatu kelompok
dalam kedudukan yang berbeda-beda secara vertical.
Pada zaman kuno dahulu, filosof
aristoteles (yunani) mengatakan di dalam Negara terdapat tiga unsur, yaitu
mereka yang kaya sekali, yang melarat, dan yang berada di tengah-tengahnya.
Ucapan demikian sedikit banyak membuktikan bahwa di zaman itu, dan sebelumnya,
orang telah mengakui adanya lapisan masyarakat yang mempunyai kedudukan yang
bertingkat-tingkat dari bawah ke atas. Seorang sosiolog terkemuka yaitu Paritim
A. Sorokin, pernah mengatakan bahwa sistem lapisan merupakan ciri yang tetap
dan umum dalam setiap masyarakat yang hidup teratur.
Sistem lapisan dalam masyarakat
tersebut, dalam sosiolagi dikenal dengan social
stratification. Kata stratification berasal
dari (stratum), jamaknya : strata yang berarti lapisan. Paritim a. Sorokin
menyatakan bahwa social stratification adalah
pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat
(hirarkis). Perwujudannya adalah kelas-kelas tinggi dan kelas yang lebih
rendah. Selanjutnya menurut Sorokin, dasar dan inti lapisan masyarakat tidak
adanya keseimbangan dalam pembagian hak dan kewajiban, kewajiban dan tanggung
jawab nilai-nilai sosial dan pengaruhnya di antara anggota-anggota masyarakat.
Bentuk-bentuk lapaisan masyarakat
berbeda-beda dan banyak sekali. Lapisan-lapisan tersebut tetap ada, sekalipun
dalam masyarakat kapitalis, demokratis, komunistis dan lain sebagainya. Lapisan
masyarakat tadi, mulai ada sejak manusia mengenal adanya kehidupan bersama
didalam suatu organisasi sosial. Misalnya pada masyarakat-masyarakat yang
bertaraf kebudayaan masih bersahaja. Lapisan masyarakat mula-mula didasarkan
pada perbedaan seks, perbedaan antara pemimpin dengan yang dipimpin, golongan
buangan atau budak dan bukan buangan/budak, pembagian kerja dan bahkan juga
suatu pembedaan berdasarkan kekayaan. Semakin rumit dan semakin maju teknologi
suatu masyarakat, semakin komplek pula sistem lapisan masyarakat.
Bentuk-bentuk kongkrit lapisan
masyarakat tersebut banyak,akan tetapi secara prinsipil bentuk-bentuk tersebut
dapat diklasifikasikan kedalam tiga macam kelas, yaitu yang ekonomis, politis
dan yang didasarkan pada jabatan-jabatan tertentu dalam masyarakat. Umumnya,
ketiga bentuk pokok tadi mempunyai bentuk hubungan yang erat satu dengan yang
lainnya dimana terjadi saling mempengaruhi.
Pembahasan
selanjutnya
mengenai : (1). Proses terjadinya lapisan masyarakat, (2). Sifat,system lapisan
masyarakat dan kelas-kelas dalam masyarakat, (3). Dasar-dasar dan unsur-unsur
lapisan masyarakat, (4). Jenis-jenis lapisan masyarakat, (5). Pengaruh Agama
terhadap lapisan sosial masyarakat.
Teori
Pelapisan Sosial
Pembagian pelapisan masyarakat ini beragam, ada dua, tiga, lima
tingkatan atau lebih. Biasanya tingkat tertinggi itu jumlahnya lebih sedikit
dibanding tingkat dibawahnya, sehingga sistem pelapisan masyarakat itu
mengikuti bentuk piramid. Peristilahan pelapisan sosial tersebut dikenal
sebagai teori stratifikasi sosial, sebagai berikut :
Dua
lapisan : kelas atas (upper class) dan kelas bawah (lower class)
upper class
lower class
Tiga lapisan
: kelas atas (upper
class), kelas menengah (middle class) dan kelas
bawah (lower class)
upper
class
middle
class
l
lower class
Lima
lapisan : kelas atas (upper class), kelas menengah atas (upper
middle class), kelas menengah (middle class), kelas menengah bawah (lower
middle class) dan kelas bawah (lower class).
upper
class
upper
middle class
middle
class
lower
middle class
lower
class
Teori Fungsional
Davis
dan moore (1945) melihat, bahwa pelapisan sosial mempunyai fungsi karena pelaku
sosial dal setiap masyarakat perlu disebar dalam kedudukannya tertentu dalam
suatu masyarakat. Dalam kedudukan-kedudukan tersebut pelaku sosial mempunyai
tugas dan memperoleh ganjaran dan cara-cara tertentu.pebedaan martabat
disebabkan oleh dua faktor, yaitu (1) perbedaan pentingnya fungsi kedudukan dan
(2) perbedaan kelangkaan orang yang dapat menempati kedudukan sehubungan dengan
tuntutan peranan dari kedudukan.
Dengan
sendirinya kedudukan yang lebih penting secara fungsional dalam struktur
fungsional , mempunyai tingkat-tingkat yang lebih tinggi, maka perlu disediakan
imbal-imbal sebagai rangsangan dan motivasi untuk berusah menempoat kedudukan
seperti itu. Penempatan atau penetuan alokasi dalam imbalan serta hubungan
dengan posisi-posisi, sesuai dengan tanggung jawab kolektif yang dibebankan
atau dipercayakan sehingga seluruh system berjalan secara fungsional dan
efektif.
Beberapa Ahli yang Mengemukakan
Tentang Pelapisan Sosial
1.
Aristoteles
Dalam
tiap negara terdapat tiga unsur lapisan masyarakat, yaitu: mereka yang kaya
sekali, mereka yang malarat sekali, dan mereka yang berada ditengahnya.
2.
Vilfredo
Pareto
Ada
dua kelas, yaitu golongan elit dan golongan non elit. Pangkal perbedaan itu
terjadi karena ada orang-orang yang memiliki kecakapan, watak, keahlian dan
kapasitas yang berbeda.
3.
Gaetano
Mosca (dalam the rulling class)
Adanya
kelas yang memerintah dan kelas yang diperintah. Kelas pertama jumlahnya
sedikit, menjalankan peranan politik, memonopoli kekuasaan dan menikmati
keuntungan yang dihasilkan oleh kekuasaan itu. Kelas kedua jumlahnya lebih
banyak, diarahkan dan diatur oleh golongan pertama.
4.
Karl
Marx
Menggunakan
istilah kelas. Terdapat dua macam kelas, yaitu: Pertama, kelas yang memiliki
tanah dan alat-alat produksi. Kedua, kelas yang tidak memiliki tanah dan hanya
memiliki tenaga yang digunakan dalam proses produksi.
5.
Gerhard
E. Lenski
Dalam
tahap masyarakat dengan sektor industri maju semakin terjadi diversifikasi
kriteria untuk penggolongan lapisan. Diantaranya :
1)
Klas
politik (political class system)
2)
Klas
pemilik ( property class system)
3)
Klas
pendidikan ( educational class system)
4)
Klas
suku bangsa, ras, agama ( race, ethnic & religious class system)
5)
Klas
pekerjaan (occupational class system) :
a.
wiraswasta
( entrepreneure) j.
penganggur & budak
b.
pengelola
/ manager k. ras,
suku bangsa dan agama
c.
militer l.
jenis kelamin/seks
d.
pejabat
partai m. usia
e.
profesi
f.
rohaniawan
g.
penjual
h.
buruh
i.
Petani
Alasan
mengapa stratifikasi sosial dalam masyarakat bukan saja karena ada perbedaan,
tetapi karena kemampuan manusia menilai perbedaan itu dengan menerapkan
berbagai criteria. Artinya mengapa ada sesuatu yang dihargai, maka sesuatu itu
(dihargai) menjadi bibit yang menumbuhkan adanya system berlapis-lapisan dalam
masyarakat. Sesuatu yang diharagai dapat berupa uang atau benda-benda bernilai
ekonomis, kekuasaan, ilmu pengetahuan, kesolean dalam agama, atau keturunan
keluaraga yang terhormat.
Proses terjadinya system lapisan-lapisan dalam masyarakat dapat
terjadi dengan sendirinya, atau sengaja disusun untuk mengejar sustu tujuan
bersama. Agar dalam masyarakat manusia hidup dengan teratur, maka kekuasaan dan
wewenang yang ada harus dibagi-bagi dengan teratur dalam suatu
organisasivartikal atau horizontal la tidak, kemungkinan besar terjadi
pertentangan yang dapat membahayakan keutuhan masyarakat.
Sifat
dari sistem berlapis-lapis atau stratifikasi sosial dalam masyarakat ada yang
tertutup dan ada yang terbuka. Yang bersifat tertutup tidak memungkinkan
pindahnya orang seorang dan suatu lapisan kelapisan yang lain, baik geraknya
pindahnya ke atas ataupun kebawah. Keanggotan dari suatu lapisan tertutup,
diperoleh melalui kelahiran. Sistem lapisan tertutup dapat dilihat dari
masyarakat yang berkasta, dalam suatu masyarakat yang feodal, atau pada
masyarakat yang sistem pelapisannya bersifat terbuka, setiap anggota mempunyai
kesempatan untuk berusaha dengan kecakapannya sendiri untuk naik lapisan
sosial, atau kalau tidak beruntung, dapat jatuh ke lapisan di bawahnya.
Sumber : elib.unikom.ac.id/download.php?id=38323
Kesimpulan:
Kebebasan
beragama dalam kehidupan sosial adalah hal yang sangat penting untuk kita jaga
bersama. Berdasarkan pasal-pasal yang terdapat dalam UUD 1945 yaitu Pasal
28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (“UUD 1945”):
“Setiap orang bebas memeluk agama dan
beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih
pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara
dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”
Akan
tetapi, hak asasi tersebut bukannya tanpa pembatasan. Dalam Pasal 28J ayat
(1) UUD 1945 diatur bahwa setiap orang wajib menghormati hak asasi orang
lain. Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 selanjutnya mengatur bahwa
pelaksanaan hak tersebut wajib tunduk pada pembatasan-pembatasan dalam
undang-undang. Jadi, hak asasi manusia tersebut dalam pelaksanaannya tetap
patuh pada pembatasan-pembatasan yang diatur dalam undang-undang. Maka kita
sebagai makhluk sosial harus lebih memberikan toleransi antar agama agar tidak
sampai menimbulkan kericuhan yang tidak diperlukan.