Rabu, 11 Desember 2013

Artikel Kasus Pelanggaran HAM



ILMU SOSIAL DASAR
TUGAS-6
ARTIKEL KASUS PELANGGARAN HAM



 


Disusun Oleh          :
                                                     Nama                      : Febi Ardianto
                                                     NPM                       : 32412847
                                                     Kelas                       : 2-ID08
                                                     Mata Kuliah            : Ilmu Sosial Dasar



FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
JURUSAN TEKNIK INDUSTRI
UNIVERSITAS GUNADARMA
KALIMALANG




Toleransi Palsu, Kebebasan Beragama Semu

Entah untuk mengubur rasa bersalah atau karena “kurang gaul”, sebagian pejabat kita suka sekali membangga-banggakan diri dalam perkara toleransi dan kebebasan beragama. Berkebalikan dengan laporan-laporan tahunan yang dikeluarkan Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) UGM, Setara Institute, Wahid Institute dan berbagai lembaga kredibel internasional mengenai kehidupan beragama di Indonesia yang bertabur noda, baru-baru ini, misalnya, Menteri Agama Suryadharma Ali menyatakan bahwa hubungan antar-agama di negara kita adalah yang terbaik di dunia. Dengan menengok sejarah sebentar saja, seharusnya kita paham. Sejak 1967, toleransi dan kebebasan beragama di Indonesia lebih banyak ditafsir dan dipraktekkan menurut perspektif mayoritas.
Interpelasi Simorangkir bisa disebut sebagai peristiwa terbuka pertama menyangkut isu toleransi dan kebebasan beragama setelah kemerdekaan. Persis di awal Orde Baru, interpelasi Simorangkir diajukan kalangan Kristen dalam suatu sidang parlemen DPR GR 1967 guna menggugat pelarangan pendirian gereja Metodis di Meulaboh, Aceh. Menurut mereka, tindakan pelarangan itu menghancurkan semangat toleransi beragama, tidak sesuai dengan Pancasila, melanggar HAM dan mengancam persatuan nasional.
Sebaliknya, kalangan Muslim yang dimotori oleh tokoh seperti HM. Rasjidi dan M. Natsir menuduh bahwa dengan mendirikan gereja dan melakukan kegiatan misi di lingkungan Muslim seperti Aceh—yang pada jaman Belanda pun dilarang di bawah peraturan “double mission”—golongan Kristenlah yang tidak punya toleransi dan tak menghargai kebebasan beragama, membahayakan Pancasila serta mengancam kerukunan dan kesatuan bangsa.
Beberapa bulan kemudian, meletus pula “Peristiwa Makassar” yang dipicu oleh kombinasi antara tindakan pelecehan oleh seorang guru beragama Kristen terhadap Nabi Muhammad dan rencana penyelenggaraan Sidang Raya Dewan Gereja-Gereja Indonesia (DGI) VI di kota itu. Belasan gereja, sekolah, asrama dan bangunan Kristen dirusak massa Muslim. Bagi kalangan Kristen, ini merupakan bukti lain betapa umat Islam tidak memiliki toleransi dan tak peduli kebebasan beragama, sebagaimana yang telah mereka khawatirkan sejak perdebatan perumusan Konstitusi 1945. Sebaliknya, bagi warga Muslim, tindakan pelecehan dan penyelenggaraan SR DGI di kota berpenduduk mayoritas Muslim itu dipandang sebagai ekspansi terang-terangan dan pelanggaran terhadap prinsip toleransi serta kebebasan beragama.
Musyawarah Antarumat Beragama yang diselenggarakan Pemerintah pada akhir 1967 memang bisa menghentikan perdebatan terbuka yang potensial mengguncang tahun-tahun awal Orde Baru, tapi ia gagal menyelesaikan masalah. Berbagai peristiwa pada1967 dan periode formatif Orde Baru serta solusinya telah membentuk watak hubungan antaragama di Indonesia, sampai sekarang. Di bawah otoritarianisme Suharto, ketegangan dan saling curiga antarumat beragama terus mengendap, kadang pecah seperti dalam kasus pembunuhan seorang pendeta Kristen Australia pada 1974 yang berbuntut pembatalan rencana SR Dewan Gereja-Gereja Dunia 1975 di Jakarta, perdebatan RUU Perkawinan 1973, UU Peradilan Agama, UU Sisdiknas 1989 dan lain-lain.
Dengan menggunakan dalil kerukunan, Pancasila, kesatuan nasional dan HAM, khususnya Islam dan Kristen sebagai dua kelompok terbesar terus berebut tafsir dan berupaya untuk mempergunakan kekuatan negara dalam mendesakkan kepentingan masing-masing sembari saling tuding mengenai siapa yang membela dan siapa yang melanggar prinsip toleransi dan kebebasan beragama.
Dari Isaiah Berlin (2002) kita belajar tentang dua wajah kebebasan, kebebasan positif atau “kebebasan untuk” (freedom for) dan kebebasan negatif atau “kebebasan dari” (freedom from). Keduanya bukan cuma bisa merupakan dua ragam yang berbeda, tapi juga rival dan dua tafsir yang tak saling bersesuaian tentang kebebasan. Apa yang terjadi dalam hubungan antaragama di Indonesia adalah contohnya.
Akibat sejarah yang kompleks, khususnya dalam hubungannya dengan kelompok Kristen, sebagian Muslim di Indonesia cenderung memahami kebebasan beragama sebagai “kebebasan dari” pengaruh dan “gangguan” agama lain. Peraturan izin pendirian rumah ibadah dan pelarangan penyebaran agama terhadap orang yang “sudah beragama” yang dibuat Orde Baru setelah peristiwa 1967 atas desakan kalangan Muslim adalah contoh yang populer. Bagi umat Islam, toleransi dan kebebasan beragama terutama adalah “jangan ganggu iman kami”.
Sementara kalangan Kristen cenderung menekankan aspek “kebebasan untuk”, termasuk kebebasan untuk menyebarkan agamanya kepada siapa saja, baik yang “sudah beragama” maupun “belum”. Dalam perdebatan pada 1950-an, selain Deklarasi Hak-Hak Asasi Manusia, Konstitusi RIS 1949 yang secara eksplisit mencantumkan hak bebas berganti agama kerap mereka rujuk.
Sedangkan kelompok Muslim dan Hindu sama-sama sepakat agar umat yang “sudah beragama” tidak boleh dijadikan sasaran penyebaran agama. Ini memang merupakan isu genting, terutama sejak 1965, ketika Orde Baru mendorong arus konversi kedalam agama-agama resmi sebagai suatu cara untuk menghabisi golongan komunis. Agama-agama yang diakui pun saling berebut penumpang. Akibatnya, kelompok mayoritas takut kehilangan, kelompok minoritas takut tidak mendapat bagian.
Bagaimana dengan para penganut agama lokal? Dalam paradigma kewajiban menganut salah satu agama resmi ala Orde Baru, bukan cuma mereka dilihat sebagai pasar empuk penyebaran agama, nasib agama dan kepercayaan lokal tak perlu dipikirkan.
Sebagaimana kebebasan secara umum, sebenarnya kebebasan beragama selalu hadir dalam dua wajah, yang “positif” dan “negatif”, dan tidak ada yang berdiri sendiri secara mutlak. Karenanya, negara semestinya tidak perlu repot harus berpihak ke mana, kecuali kepada prinsip keadilan dan kesederajatan setiap kelompok dan warga. Agama adalah urusan pribadi yang wajib dijamin oleh negara. Tetapi, pelaksanaan kebebasan beragama, baik yang positif maupun negatif, harus ditindak jika terbukti melanggar aturan hukum. FPI, karena itu, tidak boleh dibiarkan sewenang-wenang menghalang-halangi usaha pembangunan rumah ibadah umat non-Muslim atau menghabisi kelompok-kelompok Islam yang mereka anggap sesat.
Pada masa lalu, Orde Baru dan banyak produk hukumnya, seperti peraturan pendirian tempat ibadah, pengawasan terhadap aliran kepercayaan warga negara, dan pewajiban pelajaran agama di sekolah umum telah membuat masalah toleransi dankebebasan beragama justru kian runyam. Sebab, Orde Baru memang tidak menjamin penegakan prinsip toleransi dan kebebasan beragama itu sendiri, melainkan memihak kepada tafsir keduanya menurut kelompok yang menguntungkan kepentingan politiknya. Sampai sekarang, warisan kebijakan dan paradigma itu rupanya masih terus dipertahankan.
Penganiayaan dan kesewenang-wenangan terhadap kelompok-kelompok minoritas seperti tercermin dalam kasus Syi’ah di Sampang, Ahmadiyah, dan GKI Yasmin, jelas menunjukkan bahwa posisi kita masih belum jauh bergeser dari situasi tahun 1967, lama setelah Orde Baru runtuh.
Mungkinkah yang kita bangga-banggakan selama ini cuma toleransi palsu dan kebebasan beragama semu?
Sumber : Koran Tempo edisi 16 September 2013.

Kaitannya dengan UUD 1945 :
Dasar hukum yang menjamin kebebasan beragama di Indonesia ada pada konstitusi kita, yaitu Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (“UUD 1945”):
“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”
Pasal 28E ayat (2)  UUD 1945 juga menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan. Selain itu dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 juga diakui bahwa hak untuk beragama merupakan hak asasi manusia. Selanjutnya Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama.
Akan tetapi, hak asasi tersebut bukannya tanpa pembatasan. Dalam Pasal 28J ayat (1) UUD 1945 diatur bahwa setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain. Pasal 28J ayat (2) UUD 1945  selanjutnya mengatur bahwa pelaksanaan hak tersebut wajib tunduk pada pembatasan-pembatasan dalam undang-undang. Jadi, hak asasi manusia tersebut dalam pelaksanaannya tetap patuh pada pembatasan-pembatasan yang diatur dalam undang-undang.














LAPISAN MASYARAKAT

(STRATIFIKASI SOSIAL)


            Setiap masyarakat senantiasa mempunyai penghargaan tertentu terhadap hal-hal tertentu dalam masyarakat yang bersangkutan. Penghargaan yang lebih tinggi terhadap hal-hal tertentu, akan menempatkan hal tersebut pada kedudukan yang lebih tinggi dari hal-hal lainnya. Kalau suatu masyarakat lebih menghargai kekayaan material daripada kehormatan, misalnya, maka mereka yang lebih mempunyai kekayaan meteril akan menempati kedudukan yang lebih tinggi dari pihak-pihak lain. Gejala tersebut menimbulkan lapisan masyarakat, yang merupakan pembedaan posisi seseorang atau suatu kelompok dalam kedudukan yang berbeda-beda secara vertical.
            Pada zaman kuno dahulu, filosof aristoteles (yunani) mengatakan di dalam Negara terdapat tiga unsur, yaitu mereka yang kaya sekali, yang melarat, dan yang berada di tengah-tengahnya. Ucapan demikian sedikit banyak membuktikan bahwa di zaman itu, dan sebelumnya, orang telah mengakui adanya lapisan masyarakat yang mempunyai kedudukan yang bertingkat-tingkat dari bawah ke atas. Seorang sosiolog terkemuka yaitu Paritim A. Sorokin, pernah mengatakan bahwa sistem lapisan merupakan ciri yang tetap dan umum dalam setiap masyarakat yang hidup teratur.
            Sistem lapisan dalam masyarakat tersebut, dalam sosiolagi dikenal dengan social stratification. Kata stratification berasal dari (stratum), jamaknya : strata yang berarti lapisan. Paritim a. Sorokin menyatakan bahwa social stratification adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hirarkis). Perwujudannya adalah kelas-kelas tinggi dan kelas yang lebih rendah. Selanjutnya menurut Sorokin, dasar dan inti lapisan masyarakat tidak adanya keseimbangan dalam pembagian hak dan kewajiban, kewajiban dan tanggung jawab nilai-nilai sosial dan pengaruhnya di antara anggota-anggota masyarakat.
            Bentuk-bentuk lapaisan masyarakat berbeda-beda dan banyak sekali. Lapisan-lapisan tersebut tetap ada, sekalipun dalam masyarakat kapitalis, demokratis, komunistis dan lain sebagainya. Lapisan masyarakat tadi, mulai ada sejak manusia mengenal adanya kehidupan bersama didalam suatu organisasi sosial. Misalnya pada masyarakat-masyarakat yang bertaraf kebudayaan masih bersahaja. Lapisan masyarakat mula-mula didasarkan pada perbedaan seks, perbedaan antara pemimpin dengan yang dipimpin, golongan buangan atau budak dan bukan buangan/budak, pembagian kerja dan bahkan juga suatu pembedaan berdasarkan kekayaan. Semakin rumit dan semakin maju teknologi suatu masyarakat, semakin komplek pula sistem lapisan masyarakat.
            Bentuk-bentuk kongkrit lapisan masyarakat tersebut banyak,akan tetapi secara prinsipil bentuk-bentuk tersebut dapat diklasifikasikan kedalam tiga macam kelas, yaitu yang ekonomis, politis dan yang didasarkan pada jabatan-jabatan tertentu dalam masyarakat. Umumnya, ketiga bentuk pokok tadi mempunyai bentuk hubungan yang erat satu dengan yang lainnya dimana terjadi saling mempengaruhi.
            Pembahasan selanjutnya mengenai : (1). Proses terjadinya lapisan masyarakat, (2). Sifat,system lapisan masyarakat dan kelas-kelas dalam masyarakat, (3). Dasar-dasar dan unsur-unsur lapisan masyarakat, (4). Jenis-jenis lapisan masyarakat, (5). Pengaruh Agama terhadap lapisan sosial masyarakat.

Teori Pelapisan Sosial
Pembagian pelapisan masyarakat ini beragam, ada dua, tiga, lima tingkatan atau lebih. Biasanya tingkat tertinggi itu jumlahnya lebih sedikit dibanding tingkat dibawahnya, sehingga sistem pelapisan masyarakat itu mengikuti bentuk piramid. Peristilahan pelapisan sosial tersebut dikenal sebagai teori stratifikasi sosial, sebagai berikut :
Dua lapisan          : kelas atas (upper class) dan kelas bawah (lower class)
                                                                                                
                                                                             upper class
                                                                  lower class

Tiga lapisan      :  kelas  atas  (upper class),  kelas  menengah (middle class) dan kelas bawah (lower class)


 
                                                                     upper class
                                                                     middle class
                                  l
                                                        lower class



Lima lapisan        : kelas atas (upper class), kelas menengah atas (upper middle class), kelas menengah (middle class), kelas menengah bawah (lower middle class) dan kelas bawah (lower class).
 

                                                                                          upper class
                                                                                          upper middle class
                                                                                         
                                                                                          middle class


 
                                                                                          lower middle class
                                                                                          lower class

 

Teori Fungsional

Davis dan moore (1945) melihat, bahwa pelapisan sosial mempunyai fungsi karena pelaku sosial dal setiap masyarakat perlu disebar dalam kedudukannya tertentu dalam suatu masyarakat. Dalam kedudukan-kedudukan tersebut pelaku sosial mempunyai tugas dan memperoleh ganjaran dan cara-cara tertentu.pebedaan martabat disebabkan oleh dua faktor, yaitu (1) perbedaan pentingnya fungsi kedudukan dan (2) perbedaan kelangkaan orang yang dapat menempati kedudukan sehubungan dengan tuntutan peranan dari kedudukan.
Dengan sendirinya kedudukan yang lebih penting secara fungsional dalam struktur fungsional , mempunyai tingkat-tingkat yang lebih tinggi, maka perlu disediakan imbal-imbal sebagai rangsangan dan motivasi untuk berusah menempoat kedudukan seperti itu. Penempatan atau penetuan alokasi dalam imbalan serta hubungan dengan posisi-posisi, sesuai dengan tanggung jawab kolektif yang dibebankan atau dipercayakan sehingga seluruh system berjalan secara fungsional dan efektif.

 Beberapa Ahli yang Mengemukakan Tentang Pelapisan Sosial

1.      Aristoteles
Dalam tiap negara terdapat tiga unsur lapisan masyarakat, yaitu: mereka yang kaya sekali, mereka yang malarat sekali, dan mereka yang berada ditengahnya.
2.      Vilfredo Pareto
Ada dua kelas, yaitu golongan elit dan golongan non elit. Pangkal perbedaan itu terjadi karena ada orang-orang yang memiliki kecakapan, watak, keahlian dan kapasitas yang berbeda.
3.      Gaetano Mosca (dalam the rulling class)
Adanya kelas yang memerintah dan kelas yang diperintah. Kelas pertama jumlahnya sedikit, menjalankan peranan politik, memonopoli kekuasaan dan menikmati keuntungan yang dihasilkan oleh kekuasaan itu. Kelas kedua jumlahnya lebih banyak, diarahkan dan diatur oleh golongan pertama.
4.      Karl Marx
Menggunakan istilah kelas. Terdapat dua macam kelas, yaitu: Pertama, kelas yang memiliki tanah dan alat-alat produksi. Kedua, kelas yang tidak memiliki tanah dan hanya memiliki tenaga yang digunakan dalam proses produksi.
5.      Gerhard E. Lenski
Dalam tahap masyarakat dengan sektor industri maju semakin terjadi diversifikasi kriteria untuk penggolongan lapisan. Diantaranya :
1)      Klas politik (political class system)
2)      Klas pemilik ( property class system)
3)      Klas pendidikan ( educational class system)
4)      Klas suku bangsa, ras, agama ( race, ethnic & religious class system)




5)      Klas pekerjaan (occupational class system) :
a.       wiraswasta ( entrepreneure)           j.  penganggur & budak
b.      pengelola / manager                       k.  ras, suku bangsa dan agama
c.       militer                                                         l.  jenis kelamin/seks
d.      pejabat partai                                  m. usia
e.       profesi
f.       rohaniawan
g.       penjual
h.      buruh    
i.        Petani

Alasan mengapa stratifikasi sosial dalam masyarakat bukan saja karena ada perbedaan, tetapi karena kemampuan manusia menilai perbedaan itu dengan menerapkan berbagai criteria. Artinya mengapa ada sesuatu yang dihargai, maka sesuatu itu (dihargai) menjadi bibit yang menumbuhkan adanya system berlapis-lapisan dalam masyarakat. Sesuatu yang diharagai dapat berupa uang atau benda-benda bernilai ekonomis, kekuasaan, ilmu pengetahuan, kesolean dalam agama, atau keturunan keluaraga yang terhormat.
Proses terjadinya system lapisan-lapisan dalam masyarakat dapat terjadi dengan sendirinya, atau sengaja disusun untuk mengejar sustu tujuan bersama. Agar dalam masyarakat manusia hidup dengan teratur, maka kekuasaan dan wewenang yang ada harus dibagi-bagi dengan teratur dalam suatu organisasivartikal atau horizontal la tidak, kemungkinan besar terjadi pertentangan yang dapat membahayakan keutuhan masyarakat.
Sifat dari sistem berlapis-lapis atau stratifikasi sosial dalam masyarakat ada yang tertutup dan ada yang terbuka. Yang bersifat tertutup tidak memungkinkan pindahnya orang seorang dan suatu lapisan kelapisan yang lain, baik geraknya pindahnya ke atas ataupun kebawah. Keanggotan dari suatu lapisan tertutup, diperoleh melalui kelahiran. Sistem lapisan tertutup dapat dilihat dari masyarakat yang berkasta, dalam suatu masyarakat yang feodal, atau pada masyarakat yang sistem pelapisannya bersifat terbuka, setiap anggota mempunyai kesempatan untuk berusaha dengan kecakapannya sendiri untuk naik lapisan sosial, atau kalau tidak beruntung, dapat jatuh ke lapisan di bawahnya.

Sumber : elib.unikom.ac.id/download.php?id=38323

Kesimpulan:
Kebebasan beragama dalam kehidupan sosial adalah hal yang sangat penting untuk kita jaga bersama. Berdasarkan pasal-pasal yang terdapat dalam UUD 1945 yaitu Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (“UUD 1945”):
“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”
Akan tetapi, hak asasi tersebut bukannya tanpa pembatasan. Dalam Pasal 28J ayat (1) UUD 1945 diatur bahwa setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain. Pasal 28J ayat (2) UUD 1945  selanjutnya mengatur bahwa pelaksanaan hak tersebut wajib tunduk pada pembatasan-pembatasan dalam undang-undang. Jadi, hak asasi manusia tersebut dalam pelaksanaannya tetap patuh pada pembatasan-pembatasan yang diatur dalam undang-undang. Maka kita sebagai makhluk sosial harus lebih memberikan toleransi antar agama agar tidak sampai menimbulkan kericuhan yang tidak diperlukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar