Jangan
Menjual Anak
Alifuddin L. Yusuf
Fenomena
terebak yang barang kali kurang menjadi perhatian kita – lantaran isu-isu
polotik dan kekuasaan dibumbui tema rasywah/korupsi – adalah terjadinya
transaksi jual beli bayi. Televisi dan media cetak kerap memberitakan
kasus-kasus yang memilukan. Caranya pun beragam, ada yang memang sengaja dijual
oleh orang tua kandungnya sendiri, ada yang melalui proses penculikan oleh
orang lain lalu dijual kepada peminatnya, dan sebagainya. Alhasi, yang paling
pasti si bayi yang tiada berdosa dan belum mengenal dirinya sendiri itupun jadi
korban “kezaliman’ para orang dewasa.
Kita
memang memiliki institusi resmi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan
Komnas HAM, tapi toh mereka selama ini lebih menengani kasus-kasus yang kadung
terjadi dan tidak mampu berbuat lebih kepada konteks pencegahan ataupun upaya
untuk mengeliminir dengan itikad demi mempersempit ruang gerak kasus biadab
semacam itu.
Anak,
Generasi Masa Depan
Anak
merupakan generasi dari para orang tua yang senantiasa warasnya senantiasa
menjadi harapan para orang tua yang kepada mereka tertumpang pesan mahal: menjadi
generasi pelanjut dalam nuansa berkebajikan. Dalam segi pandang Islam, kita
memahami bahwa anak sebagai keturunan adalah fitrah atas manusia yang secara
alami (sunnati) menjadi kebutuhan. Ini pulalah yang menjadi salah satu hujjah
mengapa setiap insan di usia cukup lalu berpasang-pasangan dan mengikat diri
dalam tali pernikahan dengan tujuan kelak akan mendapatkan anak-anak manis yang
salih/salihah.
Bahkan
gara-gara tak kunjung hadirnya si buah hati, banyak pasangan nikah yang harus
bercerai pada kulminasi akhirnya, atau mereka berupaya keras untuk ikhtiar
mendapatkan anak demi sebuah kesempurnaan perkawinan. Pelbagai cara dilakukan,
yang modern hingga harus terapi kemancanegara atau melalui terapi alternatif
dilakukan; teriring doa kedua pasangan dalam kekhusyuan yang dalam.
Anak
merupakan fitrah yang Allah SWT titipkan kepada para orang tua sebagai amanah.
Dari segi lain, anak itu juga menjadi ‘alat’ ujian bagi mereka sehingga selain
amanah tentulah juga menjadi fitnah. Dalam posisi yang seperti inilah para
orang tua yang ‘menurunkan’ dari rahimnya anak itu diminta berhati-hati,
berperhatian khusus dalam menjaga dan mendidik agar anak kemudian tidak salah
dalam melangkahkan hidup dan kehidupannya. Dalam bahasa yang tinggi Al-Qur’an
mengingatkan para orang tua: “Hai orang-orang yang beriman, periharalah
dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan
batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidah mendurhakai
Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan
apa yang diperintahkan.”(QS
At-Tahrim: 6)
Alasan
Kemiskinan
Terjadi
transaksi jual beli bayi yang terjadi selama ini, dikabarkan karena alasan
kemiskinan si orang tua. Takut tak sanggup memelihara dan membesarkannya maka
‘menukar dengan sejumlah uang’ menjadi tawaran menarik untuk dilakonkan.
Keterpaksaan menjadi dalih. Dengan demikian, kehamilan yang terjadi sesungguhnya
memang tidak diinginkan. Tetapi mengapa harus begitu? Tidakkah ada cara lain
seperti misalnya dengan menitipkan kepada keluarga-keluarga mampu yang berkenan
untuk memeliharanya?
Menjual,
tentunya melepaskan hak dan kewajiban orang tua terhadap si anak dan sebaliknya
kewajiban dan hak anak terhadap orang tuanya. Apalah lagi jika dilakukan
melalui ‘broker-broker’ yang menjadi pelaku proses jual beli anak itu. Secara
sadar, orang tua sengaja ‘membunuh’ anaknya dengan cara melepaskan si bayi dari
pelukan dan belas kasih sayang orang tuanya. Kemiskinan, kepappaan,
ketidakmampuan dan keengganan merawat atau apapun terminologi lain menyertai
lainnya sebagai dalih, muaranya dalah si ibu tidak bertanggung jawab. Ini
pulalah yang diingatkan Al-Qur’an sebagaimana bunyi ayat ini: “Dan
janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kami-lah yang akan
memberi rizki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka
adalah suatu dosa yang besar.” (QS Al-Israa: 31)
Peran Negara
Soal
takut lantaran miskin dan kemiskinan, di situlah letak ujian atau fitnah atas
keberadaan anak dalam konteks keluarga si orang tuanya. Kita lalu juga
bertanya, dimana posisi dan peran negara dalam konteks ini? Konstitusi kita
menjamin bahwa “fakir miskin dan anak-anak terlantar dipeliahara oleh negara”
(UUD 1945 pasal 34 ayat 1). Maka secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa
semua orang miskin dan semua anak terlantar pada prinsipnya dipelihara oleh
negara, tetapi pada kenyataannya yang ada di lapangan bahwa tidak semua orang
miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara.
Kita
memang memahami betapa amat banyak dan beragamnya permasalahan dan persoalan
bangsa kita selama ini, yang satu sama lain sedemikian paradoks sehingga boleh
jadi negara atau aparatur negara yang ada belum sampai menyentuh kepada
persoalan perlindungan dan pencegahan dari fenomena terjadinya transaksi tukar
menukar anak yang sejatinya dimuliakan sebagai titipan amanah ilahi itu. Ada
hukum dan peraturan, namun lebih pada langkah penyelesaian yang represid yang
sekedar menyembuhkan tetapi belum kepada tindak prehentif yang mencegah
penularannya.
Akhirnya
memang masyrakat juga yang diminta untuk melakukan tugas mengeliminasi kasus
jual beli bayi itu. Tetapi, ya seberapa mampukah kita melakukan itu? Kita patut
merasai!! Allahua’lam.
Fattaqullaha
mastatha’tum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar