Senin, 17 Juni 2013

Jangan Menjual Anak Alifuddin L. Yusuf



Jangan Menjual Anak
Alifuddin L. Yusuf
            Fenomena terebak yang barang kali kurang menjadi perhatian kita – lantaran isu-isu polotik dan kekuasaan dibumbui tema rasywah/korupsi – adalah terjadinya transaksi jual beli bayi. Televisi dan media cetak kerap memberitakan kasus-kasus yang memilukan. Caranya pun beragam, ada yang memang sengaja dijual oleh orang tua kandungnya sendiri, ada yang melalui proses penculikan oleh orang lain lalu dijual kepada peminatnya, dan sebagainya. Alhasi, yang paling pasti si bayi yang tiada berdosa dan belum mengenal dirinya sendiri itupun jadi korban “kezaliman’ para orang dewasa.
            Kita memang memiliki institusi resmi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Komnas HAM, tapi toh mereka selama ini lebih menengani kasus-kasus yang kadung terjadi dan tidak mampu berbuat lebih kepada konteks pencegahan ataupun upaya untuk mengeliminir dengan itikad demi mempersempit ruang gerak kasus biadab semacam itu.
Anak, Generasi Masa Depan
            Anak merupakan generasi dari para orang tua yang senantiasa warasnya senantiasa menjadi harapan para orang tua yang kepada mereka tertumpang pesan mahal: menjadi generasi pelanjut dalam nuansa berkebajikan. Dalam segi pandang Islam, kita memahami bahwa anak sebagai keturunan adalah fitrah atas manusia yang secara alami (sunnati) menjadi kebutuhan. Ini pulalah yang menjadi salah satu hujjah mengapa setiap insan di usia cukup lalu berpasang-pasangan dan mengikat diri dalam tali pernikahan dengan tujuan kelak akan mendapatkan anak-anak manis yang salih/salihah.
            Bahkan gara-gara tak kunjung hadirnya si buah hati, banyak pasangan nikah yang harus bercerai pada kulminasi akhirnya, atau mereka berupaya keras untuk ikhtiar mendapatkan anak demi sebuah kesempurnaan perkawinan. Pelbagai cara dilakukan, yang modern hingga harus terapi kemancanegara atau melalui terapi alternatif dilakukan; teriring doa kedua pasangan dalam kekhusyuan yang dalam.
            Anak merupakan fitrah yang Allah SWT titipkan kepada para orang tua sebagai amanah. Dari segi lain, anak itu juga menjadi ‘alat’ ujian bagi mereka sehingga selain amanah tentulah juga menjadi fitnah. Dalam posisi yang seperti inilah para orang tua yang ‘menurunkan’ dari rahimnya anak itu diminta berhati-hati, berperhatian khusus dalam menjaga dan mendidik agar anak kemudian tidak salah dalam melangkahkan hidup dan kehidupannya. Dalam bahasa yang tinggi Al-Qur’an mengingatkan para orang tua: “Hai orang-orang yang beriman, periharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidah mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.(QS At-Tahrim: 6)
Alasan Kemiskinan
            Terjadi transaksi jual beli bayi yang terjadi selama ini, dikabarkan karena alasan kemiskinan si orang tua. Takut tak sanggup memelihara dan membesarkannya maka ‘menukar dengan sejumlah uang’ menjadi tawaran menarik untuk dilakonkan. Keterpaksaan menjadi dalih. Dengan demikian, kehamilan yang terjadi sesungguhnya memang tidak diinginkan. Tetapi mengapa harus begitu? Tidakkah ada cara lain seperti misalnya dengan menitipkan kepada keluarga-keluarga mampu yang berkenan untuk memeliharanya?
            Menjual, tentunya melepaskan hak dan kewajiban orang tua terhadap si anak dan sebaliknya kewajiban dan hak anak terhadap orang tuanya. Apalah lagi jika dilakukan melalui ‘broker-broker’ yang menjadi pelaku proses jual beli anak itu. Secara sadar, orang tua sengaja ‘membunuh’ anaknya dengan cara melepaskan si bayi dari pelukan dan belas kasih sayang orang tuanya. Kemiskinan, kepappaan, ketidakmampuan dan keengganan merawat atau apapun terminologi lain menyertai lainnya sebagai dalih, muaranya dalah si ibu tidak bertanggung jawab. Ini pulalah yang diingatkan Al-Qur’an sebagaimana bunyi ayat ini: Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kami-lah yang akan memberi rizki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.” (QS Al-Israa: 31)
            Peran Negara
            Soal takut lantaran miskin dan kemiskinan, di situlah letak ujian atau fitnah atas keberadaan anak dalam konteks keluarga si orang tuanya. Kita lalu juga bertanya, dimana posisi dan peran negara dalam konteks ini? Konstitusi kita menjamin bahwa “fakir miskin dan anak-anak terlantar dipeliahara oleh negara” (UUD 1945 pasal 34 ayat 1). Maka secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa semua orang miskin dan semua anak terlantar pada prinsipnya dipelihara oleh negara, tetapi pada kenyataannya yang ada di lapangan bahwa tidak semua orang miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara.
            Kita memang memahami betapa amat banyak dan beragamnya permasalahan dan persoalan bangsa kita selama ini, yang satu sama lain sedemikian paradoks sehingga boleh jadi negara atau aparatur negara yang ada belum sampai menyentuh kepada persoalan perlindungan dan pencegahan dari fenomena terjadinya transaksi tukar menukar anak yang sejatinya dimuliakan sebagai titipan amanah ilahi itu. Ada hukum dan peraturan, namun lebih pada langkah penyelesaian yang represid yang sekedar menyembuhkan tetapi belum kepada tindak prehentif yang mencegah penularannya.
            Akhirnya memang masyrakat juga yang diminta untuk melakukan tugas mengeliminasi kasus jual beli bayi itu. Tetapi, ya seberapa mampukah kita melakukan itu? Kita patut merasai!! Allahua’lam.
Fattaqullaha mastatha’tum.

Dikutip dari “Lembar Risalah An-natijah” No.11/Th.XVIII?Jum’at III

Tidak ada komentar:

Posting Komentar